Nardayana terlahir dari keluarga petani miskin dan tak punya leluhur berdarah
seni mendalang wayang kulit. Namun, keuletan belajar dan kecintaan
terhadap seni mengantarkannya menjadi dalang wayang kulit bali. Ia
sukses dan populer sejak 15 tahun lalu dengan sebutan Dalang Inovatif
Cenk Blonk. Dialah I Wayan Nardayana.
Pria ini dikenal karena pertunjukan wayang kulitnya memasukkan
lelucon serta obrolan ceplas-ceplos segar dan aktual di sela
pertunjukannya.
Sejak tahun 2002, ia terus memodifikasi pentas wayang
kulitnya dengan permainan lampu warna-warni serta berbagai suara untuk
mendukung cerita.
Bahkan, ia membawa sekitar 50 kru dan satu
generator listrik berkekuatan 7.000 watt setiap kali mentas. Layar yang
dia gunakan tak biasa, 6 meter dan tinggi 1,5 meter.
Maka, meski
pertunjukannya tidak semalam suntuk—hanya dua setengah jam— kemunculan
wayang Cenk Blonk serasa angin segar di antara pementasan seni yang sepi
ide. Penonton pun bisa membeludak.
Kemasan pencahayaan yang
apik, disertai lelucon hingga obrolan ceplas-ceplos ala rakyat,
menjadikan penonton berusia tua dan generasi muda tak beranjak selama
pertunjukan. Nardayana menyisipkan lelucon segar dan kritik sosial
melalui tokoh rakyat Nang Klenceng dan Nang Eblong. Kedua tokoh itu
punya bentuk lucu, dari kepalanya yang botak dan berkucir, serta gigi
tonggos. Kedua tokoh yang dia mainkan inilah yang membuat Nardayana
dikenal sebagai dalang Cenk Blonk.
Awal pentas tahun 1992,
Nardayana menggunakan nama kelompoknya, Gita Loka. Tiga tahun kemudian
ia menggunakan nama Cenk Blonk hingga kini.
”Tiyang
(saya) tidak sengaja, sebelum mentas mendengar obrolan beberapa orang
sambil menunggu pertunjukan mengatakan wayang Cenk Blonk mau mulai, ayo
cepat cari tempat. Tiyang tertarik dan mengganti Gita Loka
menjadi wayang Cenk Blonk,” kata Nardayana di rumahnya, Desa Belayu,
sekitar 40 kilometer dari Denpasar.
Penggunaan huruf K
menggantikan G pada Nang Klenceng (Cenk) dan Nang Eblong (Blonk), lanjut
Nardayana, agar terkesan lebih gaul. Lagi-lagi ini juga menjadi bagian
cara menarik penonton. Apalagi, saat itu ia belum berinovasi dengan tata
pencahayaan warna-warni.
”Setiap hari, tiyang memperbarui bahan guyonan atau kritik sesuai tren berita-berita di media massa atau masyarakat sekitar Bali. Tiyang tetap perlu memerhatikan siapa saja penonton saat pertunjukan. Ya, biar nyambung dengan penontonnya dan mereka terhibur,” ujarnya.
Kepiawaian mendalang berawal dari kesedihan Nardayana terhadap sebagian
masyarakat yang meninggalkan pertunjukan seni wayang kulit. Sekitar
tahun 1989 dia bertekad mengembalikannya.
Saat itu, ia masih
bekerja sebagai tukang parkir di salah satu pusat perbelanjaan. Sepulang
bekerja, Nardayana mendapati pertunjukan wayang kulit yang sepi
penonton. Ia langsung memilih meninggalkan pekerjaannya untuk belajar
seni pedalangan.
Dia mencari tetangganya yang membuat wayang dan
dalang. Tiga tahun kemudian, Nardayana pentas perdana di Pura Parungan,
Tabanan. Ia dibayar sekitar Rp 250.000 untuk sekali pentas dengan layar
2 x 1 meter. Dia hanya mengajak beberapa orang penabuh gamelan.
Ketertarikan terhadap kesenian sebenarnya sudah ditunjukkan sejak di bangku SMA. ”Kala itu tiyang dibayar Rp 2.500 setiap pentas topeng untuk acara adat di sekitar rumah,” tuturnya.
Setelah pentas berkeliling dan terus berinovasi dengan tata lampu, ia
lalu dibayar sekitar Rp 10 juta setiap kali pentas. Dia mampu manggung
lebih dari tiga kali dalam sehari mengingat waktu pentas hanya dua
setengah jam lamanya. Sebulan, ia mampu pentas di lebih dari 40 lokasi.
”Tetapi tiyang
juga bisa tidak dibayar jika masyarakat yang meminta tak punya uang.
Apalagi, mereka yang punya kaul,” ujarnya. Bagi Nardayana, inovasi
pewayangan dengan tata cahaya berwarna tidak merusak tatanan yang ada.
Bahkan, hal itu memperkaya seni wayang.
”Menurut tiyang, budaya bisa berubah setiap saat. Tetapi, ini tidak berlaku pada spiritualnya. Tiyang memang mengubah penampilan, tetapi tidak mengubah spiritualnya,” katanya.
Tak sedikit orang, termasuk kalangan seniman, sempat memusuhinya karena
Nardayana dinilai merusak pakem pewayangan. Namun, ia tutup telinga dan
terus berkarya. Bahkan, dia memperkaya ilmu otodidaknya dengan kembali
ke bangku kuliah yang sempat ditinggalkannya karena tak ada biaya.
Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dipilihnya
sebagai penguat dan pengayaan idenya. Sementara spiritualnya, dia gali
dalam kuliah S-2 di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
”Saya ingin terus belajar dan berencana mengambil S-3,” ujar Nardayana.
Sayangnya, ketika Kompas berkunjung
ke rumahnya di Belayu, Nardayana tidak mengizinkan mengambil gambar
wayang Cenk dan Blonk miliknya, meski ia mengaku memiliki enam keropak
atau kotak berisi tokoh wayang lengkap.
”Maaf, tiyang menghargai sekali wayang-wayang ini. Oleh karena itu, tiyang tidak bisa sembarangan mengeluarkannya jika tidak ada kepentingan langsung untuk pentas atau upacara.”
Namun, kata Nardayana membesarkan hati, jika ingin melihat
pementasannya, di pasaran sudah beredar enam albumnya berupa VCD
berbahasa Bali dan bahasa Indonesia.
”Wah, kalau tiyang tidak
belajar bahasa selain bahasa Bali, wayang tidak akan bisa maju. Ini
pertunjukan seni yang seharusnya bisa dinikmati siapa saja dan datang
dari suku atau negara mana pun. Oleh karena itu, tiyang pun tak puas sampai di sini. Inovasi harus jalan terus dan berkembang. Jika tidak, tiyang dan wayang ditinggalkan masyarakat. Tiyang tidak mau itu terjadi,” Nardayana menegaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar